RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir

RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir

RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir – Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali di bunyikan. RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya dapat merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan”. Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya di pakai untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus Rafael Alun sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.

RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir

“Karena undang-undangnya RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir – Di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali di bunyikan. RUU yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya dapat merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan”. Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya di pakai untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus Rafael Alun sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.

RUU Perampasan Aset Membuat Pejabat Ketar Ketir

“Karena undang-undangnya namanya asset recovery, berkaitan dengan aset hasil kejahatan, untuk semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik,” kata Yenti kepada BBC News Indonesia. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan RUU itu diharapkan dapat membuat pengusutan perolehan harta seperti dalam kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Baca Juga : Setya Novanto Masih Menjabat Ketua DPR Walau Jadi Tersangka

Sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset dapat dilakukan ketika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalola mengatakan harus ada “pembuktian pidana asal”. Dengan di sahkannya RUU Perampasan Aset nantinya, tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan.

Dikutip dari naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang bisa menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan. Misalnya tidak di temukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak dapat menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak di temukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya. “Kalau ada harta-harta yang di duga berasal dari kejahatan, dugaan tersebut, salah satunya kok tidak sesuai profil pendapatannya, atau tidak sesuai dengan besaran pajak yang disetorkan dan lain-lain, itu bisa jadi dianggap menjadi dugaan tindak pidana sehingga asetnya bisa diproses,” ujar Lalola di slot server kamboja.

RUU itu bahkan memungkinkan penegak hukum melakukan “gugatan terhadap barang” yang adalah hasil kejahatan, yang pemiliknya “sedang hilang”. “Jadi enggak ada cerita lagi mangkrak. Seperti di Kalimantan yang kemarin ada bekas PON sekarang mangkrak, padahal biayanya banyak, jika tidak ketemu [orang terkait] di sita oleh negara nanti di lelang supaya aset-aset itu dapat berguna, tetap ada nilainya, walaupun pengadilannya belum bisa selesai atau orangnya belum dapat ditangkap,” tutur Yenti saat di Judi Bola Online.

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang bisa di rampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), ataupun pegawai negeri sipil. Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Poin Penting Rumusan Undang – Undang

Yenti mengatakan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas. RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam link slot gacor perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti dapat di subsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”. Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti. “Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik dan tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti. Untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan di kelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

Tidak dapat di tutup begitu saja, akan di kelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban. Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.

manya asset recovery, berkaitan dengan aset hasil kejahatan, untuk semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik,” kata Yenti kepada BBC News Indonesia.  Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan RUU itu diharapkan dapat membuat pengusutan perolehan harta seperti dalam kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak akan terulang di masa yang akan datang.

Baca Juga : Setya Novanto Masih Menjabat Ketua DPR Walau Jadi Tersangka

Sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset dapat dilakukan ketika seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalola mengatakan harus ada “pembuktian pidana asal”. Dengan di sahkannya RUU Perampasan Aset nantinya, tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan.

Dikutip dari naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang bisa menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan. Misalnya tidak di temukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak dapat menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak di temukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya. “Kalau ada harta-harta yang di duga berasal dari kejahatan, dugaan tersebut, salah satunya kok tidak sesuai profil pendapatannya, atau tidak sesuai dengan besaran pajak yang disetorkan dan lain-lain, itu bisa jadi dianggap menjadi dugaan tindak pidana sehingga asetnya bisa diproses,” ujar Lalola.

RUU itu bahkan memungkinkan penegak hukum melakukan “gugatan terhadap barang” yang adalah hasil kejahatan, yang pemiliknya “sedang hilang”. “Jadi enggak ada cerita lagi mangkrak. Seperti di Kalimantan yang kemarin ada bekas PON sekarang mangkrak, padahal biayanya banyak, jika tidak ketemu [orang terkait] di sita oleh negara nanti di lelang supaya aset-aset itu dapat berguna, tetap ada nilainya, walaupun pengadilannya belum bisa selesai atau orangnya belum dapat ditangkap,” tutur Yenti.

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang bisa di rampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), ataupun pegawai negeri sipil. Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Poin Penting Rumusan Undang – Undang

Yenti mengatakan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas. RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti dapat di subsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”. Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti. “Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik dan tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti. Untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan di kelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

Tidak dapat di tutup begitu saja, akan di kelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban. Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.